Dieng Wiki

Sebuah Dataran Tinggi yang di dominasi oleh Pegunungan api, Kaldera, Solfatara, lembah dan hutan sebagai morfologi alamnya. Bertengger di 1250 – 2250 mdpl, Dieng diapit Gunung Prau di sisi utara dan Gunung Bismo di sisi Tenggara.

Secara administratif, kawasan Dieng Kulon (Barat) masuk ke Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan di sisi wetan (Timur) termasuk Kabupaten Wonosobo. Luas Dataran Dieng ini 10 x 15 km persegi, berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Batang di sisi utara, Kabupaten Temanggung di timur, dan Kabupaten Kendal di timur laut. tanahnya yang kaya akan debu vulkanis sebagai tinggalan sejarah Geologisnya membuat dataran ini subur, serta cocok ditanami berbagai tanaman.

Dataran tinggi Dieng terbentuk akibat aktivitas vulkanik berupa letusan super vulkano Dieng pada 2,5 juta tahun lalu. Aktivitas vulkanik ini meninggalkan kawasan kaldera raksasa dengan jajaran pegunungan yang mengelilinginya. Aktivitas vulkanik selanjutnya membentuk morfologi kawasan perbukitan, dataran, kawah, dan telaga yang didominasi oleh batuan yang berumur Pelosen-Holosen.

Secara geomorfologi, Dieng terbagi menjadi 2 satuan geomorfologi yaitu satuan pegunungan pada zona Serayu Utara yang berumur Tersier dan satuan dataran tinggi yang berada pada barisan gunungapi dan kerucut-kerucut soliter yang sebagian besar ditempati oleh material vulkanik.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang berada di ketinggian 2000an mdpl, dikelilingi oleh Gunung Prahu dan sekelompok Gunung api, yakni Gunung Pakuwaja, Gunung Sikendil, Gunung Sipandu, Gunung, Gunung Bisma, dan deretan pegunungan lainnya.

Semuanya pernah aktif di era masing-masing, dengan skala erupsi freatik, yang hanya menyemburkan debu dan lumpur. Aktivitas vulkanik itu meninggalkan jejak geologis yang jelas. Di seluruh Dieng kini terdapat beberapa kawah yang masih aktif, antara lain kawah Candradimuka, Kawah Sikidang, Kawah Sileri, Kawah Gajah, Kawah Banteng, Kawah Sikendang, Kawah Timbang, Kawah Sinila dan beberapa kawah yang tersebar di banyak pegunungan Dieng.

Sejumlah bekas aktivitas vulkanik lainya memunculkan telaga-telaga yang mempesona, menambah keindahan alam Dieng. Beberapa telaga yang ada di Dataran Tinggi Dieng antara lain, Telaga Warna dan Telaga Pengilon, Telaga Menjer, Telaga Cebong, Telaga Balaikambang, Telaga Sewiwi, Telaga Merdada, dan Telaga Dringo.

Beberapa kawah serta telaga telah dimanfaatkan dan dikelola menjadi destinasi pariwisata. Dengan kondisi geologi Dieng yang merupakan kawasan Gunungapi, ada kalanya sebagian kawasan yang berupa kawah maupun telaga memiliki ancaman bahaya jika sewaktu-waktu terdapat peningkatan aktivitas vulkanik dilokasi tersebut. Untuk menjaga keamanan baik masyarakat maupun wisatawan, yang berada di dataran tinggi ini. Maka Pemerintah mendirikan Pusat Pemantauan Gunung api Dieng. Pusat Pemantauan Gunung Api Dieng menjadi garda terdepan dalam melakukan mitigasi kebencanaan demi menjaga keamanan masyarakat juga wisatawan di area Gunung Api Dieng.

Situs Sejarah

Berada di daerah pedalaman Jawa Tengah, Dataran Tinggi Dieng justru memiliki jejak sejarah yang cukup tua. Dataran Tinggi Dieng memiliki beragam jejak arkeologis yang berasal dari masa awal penyebaran Hindu-Budha di Jawa. berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan di Dieng, diperkirakan beragam tinggalan arkeologis ini didirikan pada awal abad ke-7 sampai abad ke -13.

Asal usul nama Dieng juga tak lepas dari rekam historis, Dieng menurut beberapa prasasti yang ditemukan, berasal dari dua suku kata ber bahasa Jawa Kuno atau Kawi, “Di” yang berarti Gunung atau tempat yang tinggi, dan “Hyang” yang berarti para Dewa. sehingga Dieng dapat diartikan sebagai tempat yang tingi, tempat dimana dewa dan dewi bersemayam.

secara geografis Dieng memang sangat cocok dijadikan sebagai tempat peribadatan, menurut kepercayaan masyarakat Hindu, Gunung merupakan tempat tinggal para dewa, sehingga Dieng kemudian dipilih sebagai pusat keagamaan agama Hindu salah satunya karena lokasinya yang cukup tinggi.

Beberapa peninggalan arkeologis yang ada di Dieng antara lain, kompleks percandian, situs tembok kuno, situs mata air atau petirtan, situs tangga kuno, serta situs-situs pertapan yang tersebar di seluruh pegunungan Dieng. Dieng setidaknya masih memiliki 9 candi hindu dimana nama-namanya diambil dari cerita pewayangan epos mahabarata. candi-candi tersebut yaitu : Candi Arjuna, Semar, Puntadewa, Srikandi, Sembadra, Dwarawati, Gatotkaca, Setyaki dan Candi Bima.

Melihat corak arsitekturnya sekaligus didukung catatan pada prasasti yang ditemukan di Dieng, menunjukan indikasi bahwa percandian di Dieng memiliki usia yang lebih tua dibanding Candi Borobudur atau Prambanan. Corak tua pada percandian Dieng dapat kita lihat pada gaya atap candi Bima yang mengadopsi gaya Syikara serta atap Candi Arjuna yang mengadopsi gaya Vimana dari India.

Berdasarkan catatan tertulis dalam buku History of Java yang ditulis oleh Raffles serta beberapa catatan tertulis lainya, menyebutkan dahulu terdapat sekitar 400an situs di Dieng. hal ini juga mengindikasikan Dieng dahulunya memang dipakai sebagai pusat peribadatan dan juga pendidikan pada masa Jawa Kuno.

Dieng sempat ditinggalkan beberapa ratus tahun hingga diketemukan kembali oleh prajurit Belanda yang sedang ditugaskan menjelajah pegunungan di dataran kedu pada awal abad ke-19. Dieng yang ditinggalkan selama kurun waktu 2-3 abad ini menjadikan banyak sungai kecil serta saluran air yang tersumbat oleh beragam material. tersumbatnya saluran air di Dieng menyebabkan Telaga Balaikambang meluap dan menggenangi area tengah Dieng termasuk Kawasan Percandian.

Saat ditemukan, kondisi candi kebanyakan rusak. Beberapa di antaranya terendam oleh air karena terletak dalam cekungan tanah. Tidak banyak prasasti yang ditemukan di situ. dari 24 prasasti yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng, hanya beberapa yang sudah berhasil terbaca.

Salah satu prasasti yang ditemukan di belakang komplek candi Arjuna berangka tahun 731 Caka atau 808 Masehi, prasasti tersebut menyatakan peresmian beberapa bangunan suci di kawasan Dieng, beberapa prasasti lain juga menyebutkan bahwa tanah Dieng didedikasikan sebagai tempat tinggal Dewa Siwa.

Destinasi Wisata

Keunikan Dieng sulit dicari padanannya. Sebagai dataran tinggi vulkanis, Dieng dapat dikatakan sebagai salah satu kawasan dengan bentang alam terunik di Indonesia. Kombinasi bentang alam dataran tinggi, gunung berapi, situs sejarah, dan budaya Jawa Gunung yang kental, membuat Dieng menjadi tempat menarik untuk dikunjungi.

Kawasan Datran Tinggi Dieng atau lebih dikenal dengan istilah “Dieng Plateau” telah dibuka sebagai kawasan wisata sejak pertengahan abad ke-19 oleh pemerintah Hindia Belanda. pada waktu itu Dieng telah dipromosikan kepada para pelancong yang singgah di Semarang dan melakukan perjalanan ke Yogyakarta.

Belakangan, Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara lebih mengembangkannya sebagai kawasan wisata. Di sini, para pelancong bisa melihat deretan candi dalam landscape pegunungan, hal yang berbeda dari situs Borobudur, Prambanan, atau candi-candi di Jawa Timur. Di Dieng, pengunjung juga bisa menyaksikan fenomena vulkanik dari jarak dekat, seperti kawah-kawah yang berasap, kaldera kecil, dan pemandian air hangat alami dibawah pegunungan api Dieng.

Pada musim kemarau, di bulan juli-Agustus. Kawasan Dataran Tinggi Dieng biasanya diwarnai oleh beberapa fenomena alam yang menarik. salah satu fenomena yang sering dicari oleh wisatawan adalah munculnya Embun Es atau dikenal juga dengan Embun Upas. Dipagi hari pada puncak musim kemarau kita dapat melihat rerumputan yang terlapisi oleh butiran es (embun yang membeku). Pada musim kemarau suhu udara malam hari di Dieng berkisar antara 6 sampai dengan -10’C, hal ini yang menyebabkan air embun pada dedaunan dapat menjadi es di pagi hari. Belakangan fenomena embun es ini banyak menarik wisatawan untuk berburu foto.

Selain fenomena embun es untuk berswafoto, masih banyak lagi lokasi yang instagrammable di Dieng. Mulai dari kawah, telaga, candi, kebun kentang, atau puncak-puncak bukit di mana para pengunjung bisa menikmati panorama sekeliling, dan merasakan sensasi matahari terbit atau terbenam. Dengan luas areal yang layak dijelajahi dan obyek yang bisa dinikmati, Dieng seperti taman wisata dengan banyak wahana di dalamnya. Perlu waktu lebih dari 1 hari untuk menikmati seluruh keunikannya.

Dieng juga menyajikan budaya agraris pegunungan Jawa. Berbagai kebudayaan dan kesenian lokal mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat disini. Beberapa tarian yang dilatarbelakangi adanya pemujaan kepada kesuburan muncul ditengah budaya Dieng, antara lain Tari Lengger Topeng, Rampak Yaksa, Paksimoy, Kuda Lumping dan beberapa kesenian lokal lainya.

Budaya masyarakat Dieng yang tak kalah masyur adalah tradisi Ruatan, “Ruatan” berasal dari kata “Ruat” yang berarti menghilangkan sebagian atau keseluruhan hal-hal yang dianggap membawa hal yang kurang baik. Di Dieng tradisi ruatan ini diselenggarakan untuk meruat si anak bajang, atau anak berambut gembel (Gimbal).

Anak rambut gembel (gimbal) adalah anak keturunan masyarakat Dieng yang terlahir secara normal, namun pada usia tertentu si anak akan mengalami panas tinggi, disertai mengumpalnya sebagian rambut dan berubah menjadi rambut gembel.

Masyarakat Dieng percaya bahwa si anak bajang atau anak berambut gembel harus di potong rambutnya dengan melalui serangkaian prosesi khusus yang disebut ruatan rambut gembel.

Dengan kayanya tradisi yang masih terjaga berbonus pemandangan alam yang indah, Dieng sering mendapakatkan julukan Negeri Kahyangan atau Negeri diatas awan.