Aku Si Pohon Cemara [01]

Storyon 19 June 2022

Sebuah “Hutan” bermula dalam proses yang bertahap dan cukup menarik, yakni gulma, belukar, pohon yang tahan terik matahari dan seterusnya; masing-masing membuat tanah menjadi cocok untuk gelombang pertumbuhan berikut. Akhirnya tercapailah tahap yang hanya memungkinkan perubahan sedikit, kecuali bila terjadi bencana, serangan hama atau penyakit, kebakaran, tanah longsor atau campur tangan manusia. Ketika pepohonan semakin lebat daunnya, aneka ragam warna hijau menyebar ke seluruh hutan. Daun adalah penghasil makanan yang hebat. Daun mengambil karbondioksida dari udara, air dari tanah, dan menyerap cahaya dari matahari. Semua itu digunakannya untuk membuat zat gula dan tepung melalui proses yang disebut ‘fotosintesis’. Banyaknya air yang diserap oleh akar sungguh-sungguh luar biasa. Sebatang pohon yang berdaun penuh dalam waktu satu hari mungkin menaikkan 0,9 ton air dari tanah dan mengangkutnya ke tiap daun melalui saluran yang berliku-liku. Sungguh hebat!

Sementara musim penghujan datang, pepohonan yang hijau semakin menampakkan gaun hijaunya yang kian melebat, tentu jika mereka tidak dicampuri urusannya dengan manusia lain. mirisnya pohon-pohon itu tak lagi sama dengan beberapa tahun lalu, satu persatu kian menghilang. Apa yang terjadi dengan pohon-pohon itu? mungkin ini saat yang tepat untuk diriku menemani hari kalian dibukit ini. ya…inilah kisahku. Aku adalah si pohon cemara yang mencoba bertahan hidup dari terpaan alam dan makhluk lain di bumi pertiwiku Dieng. Kini aku berdiri kokoh dan tumbuh cukup kuat diatas bukit yang sering dikunjungi makhluk lain seperti para burung, serangga, dan manusia. Aku pikir hidup dengan ragam jenisku dan berdampingan bersama manusia akan menjadi indah, tapi ternyata aku salah. tak banyak dari mereka yang datang menjumpaiku hanya untuk singgah sesaat lalu pergi. Aku termenung, bertanya-tanya dalam diri. “Apa yang sebenarnya mereka lakukan?” pertanyaan yang ada dalam diri ini kian menjadi, “Apa yang salah dengan diriku dan pohon-pohon lain, sehingga manusia itu menghilangkan wujudku dari Dieng ini? Oh, mungkin ini cara mereka mencintai akan sesamanya. tapi apakah makhluk sepertiku tidak layak hidup dan tinggal di pegunungan ini?” Aku tak paham.

Aku hanya berdiam disini dan melihat dunia di sekitarku bekerja, ditemani kicauan burung di pagi hari, oh sungguh sangat manis hariku ini. Burung adalah binatang hutan yang paling menarik perhatian. Pada musim tertentu burung membuat hutan penuh nyanyian. Luapan nyanyian itu bukan pujian atas kegembiraan berkat kedatangan tahun baru sebagaimana kata penyair, melainkan sikap menantang dan nafsu memiliki selama musim perjodohan. Begitu kembali ke hutan, burung jantan menentukan batas wilayah. Luas wilayah ini berlainan menurut banyak faktor, misalnya musim, persediaan pangan, besar kecilnya burung dan sebagainya. Tiap burung rupanya tahu berapa luas wilayah yang dibutuhkan untuk menghidupkan sekeluarga anak burung. Sekalinya terpilih, maka suatu wilayah akan dipertahankan mati-matian terhadap gangguan lain burung yang sejenis. Makhluk kecil lain juga tak kalah seru hinggap dan berteduh di bawah baju hijauku ketika musim panas. Musim panas adalah musim serangga, mereka hidup subur dalam cuaca panas dan kebutuhannya akan air hanya sedikit. Puncak kegiatan serangga tercapai pada hari kering dan panas di bulan Juli-Agustus. Sebelum cuaca menjadi beku bagaikan sabit maut menyapu pepohonan, mereka singgah bagaikan orkes serangga. Aku senang mendengarnya.

Aku Si Pohon Cemara [01]
Bukit Puntuksari Dieng Kulon

Perhatian lain juga tak kalah seru, setelah melihat para petani berteduh pada bukit ini, bercengkrama, melakukan ritual makan siang bersama di beberapa waktu tertentu, ketika musim panen datang, mereka biasanya akan singgah menemaniku lebih lama dari biasanya. Aku senang mereka mau menemaniku hingga senja tiba. Bukit ini menjadi saksi perjalanan hidupku yang panjang, bersama makhluk lain, kutemukan diriku tumbuh dengan baik, meski dikelilingi obat-obatan kimia kebanggaan para petani. Ketika mengunjungiku, sapalah aku, sentuhlah ranting-rantingku, bernafaslah, dan berbicaralah padaku. Kan kutemani hari-harimu hingga senja datang.

Story by Sinluaji Apdilah