Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng

Articleon 10 December 2022

Hai traveler!

Teruntuk kamu yang suka dengan hal-hal berbau budaya, sepertinya Dieng akan cukup menyita perhatianmu. Saat ini untuk para wisatawan, tradisi ruwatan rambut gembel sepertinya masih jadi magnet utama jika berbicara tentang budaya masyarakat Dieng. Pemotongan rambut gembel anak-anak di Dieng, dengan segala prosesi adatnya memang unik dan menarik. 

Namun, Dieng tidak hanya punya tradisi ruwatan anak berambut gembel. Bertepatan dengan bulan Muharam atau bulan Suro dalam kalender Jawa. masyarakat di Dieng memiliki sebuah tradisi yang sangat menarik namanya “Baritan”. Nama Baritan sendiri berasal dari tembung cangkriman atau singkatan dari “mbubarake peri lan setan”, yang berarti membubarkan roh halus dan setan. Tradisi ini dimaksudkan sebagai upaya tolak bala, agar tanah Dieng serta masyarakat yang tinggal disini terhindar dari segala mara bahaya. 

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng
baritan dieng 2

Desa Dieng Kulon, masyarakat di desa ini masih melestarikan tradisi baritan hingga saat ini. Tradisi ini telah berjalan ratusan tahun. “Baritan ini sudah dilakukan dari dulu, dari saya kecil sudah ada Pernah dulu berhenti selama 3 tahun, lalu gunung prahu merekah sampai 100 meter panjangnya” -Mbah Manto,Pemangku Desa Dieng. Begitulah kata Mbah Manto. Hal yang sama juga diutarakan oleh Mbah Sulhani, Pemangku adat perempuan berusia 100 tahun lebih. Beliau mengatakan bahwa baritan adalah ritual meruwat bumi. “Semacam ruwat bumi, Baritan itu bentuk permohonan kepada Tuhan untuk keselamatan alam semesta serta mahluk yang tinggal di dalamnya, maka harus tetap diusahakan bagaimanapun sulitnya”-Mbah Sulhani, Pemangku Adat Dieng.

Di era pandemi covis-19 pun, para pemangku adat tetap mengupayakan tradisi ini berjalan. Walau banyak kendala dan dilaksanakan dalam jumlah terbatas, baritan tetap dilaksanakan.

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng
baritan dieng 1

Tradisi Baritan dilaksanakan pada jum’at pungkasan, atau hari jum’at terakhir dalam bulan sura. Tradisi ini dimulai pada malam jum’at  dengan prosesi nglanglang Bhuwana. Masyarakat Dieng akan berkumpul di sekitar komplek Candi Dwarawati, lalu berjalan membawa obor mengelilingi desa Dieng. 

Hari Jum’at pagi, para pemangku adat laki-laki beserta masyarakat sudah bersiap untuk menyembelih seekor mendo kendit. Mendo kendit merupakat istilah bagi kambing yang pada bagian perutnya memiliki garis warna yang melingkari perut, menyerupai kendit atau sabuk. Setelah disembelih kaki, kepala serta badan kambing dipisahkan.

Prosesi selanjutnya adalah penanaman sesaji, para pemangku adat mengambil bagian kepala serta ke-empat kaki kambing, selanjutnya ke empat kaki kambing akan ditanam atau dikubur. Tempat pengkuburanya ini merupakat 4 pojok atau sudut batas desa. Selanjunya kepala kambing akan ditanam di tengah-tengah desa. Prosesi ini memiliki makna membuat benteng pun dengan do’a agar masyarakat desa diberi keselamatan.

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng
baritan dieng 4

Jika ke empat kaki serta kepala kambing ditanam, badan kambing yang dipisahkan tadi dimasak oleh masyarakat. Selain itu terdapat sesaji lain yang disiapkan, seperti tumpeng, sayur, macam”macam teh, pisang raja, serta aneka jajanan pasar. Seluruh masakan dan sesaji selanjutnya dibawa ke tengah Desa atau biasanya di depan rumah pemangku adat. Selanjutnya seluruh makanan dan sesaji di doakan dan dimakan bersama-sama.

Baritan merupakan sebuah tradisi yang mengajarkan kita bahwa manusia tidak hidup sendiri di muka bimi, melainkan juga perlu bersinergi dengan alam serta Tuhanya agar tercapai keselamatan baik raga maupun batin.

Jika kalian ingin menyaksikan tradisi ini, kalian bisa datang langsung ke Desa Dieng Kulon pada Jum’at terakhir di bulan muharam setiap tahunya.